PERBUATAN MAIN HAKIM SENDIRI
DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGIS
1.
Pendahuluan
Tindak kekerasan oleh massa dalam bentuk
main hakim sendiri terhadap pelaku kejahatan, pada saat ini telah menjadi
fenomena baru dalam masyarakat. Fenomena ini terus bermunculan, seiring dengan
bergulirnya gerakan reformasi. Harian Kompas (16 Juni 2000) mencatat selama
tahun 1999 s/d Mei 2000 hanya di wilayah Jabotabek saja telah terjadi 46
peristiwa kekerasan dengan korban tewas dan dibakar massa sebanyak 67 orang.
Korban tersebut semuanya adalah pelaku tindak kriminal, seperti pencurian
sepeda motor, perampasan mobil/taksi, pencurian ternak dan sebagainya.
Salah satu contoh yang sangat tragis
adalah ketika empat pelaku kejahatan di Pondok Gede yang sudah ada di atas mobil patroli
Polisi, kemudian diseret, dianiaya dan dibakar oleh massa. Menyikapi kejadian
tersebut, komentar yang muncul dari salah satu anggota masyarakat adalah: “ …
kalau diserahkan kepada polisi, tak lama lagi mereka akan keluar dan kembali
nodong”. Komentar ini menunjukan tingkat kepercayaan masyarakat kepada aparat
penegak hukum telah hilang dan juga menunjukkan rendahnya kemampuan polisi
untuk mencegah tindakan main hakim sendiri tersebut.
Peristiwa main hakim sendiri ini tidak
hanya terjadi di Jakarta yang karakteristik penduduknya sangat beragam. Di
Cilacap yang masyarakatnya dikategorikan lebih tradisional, selama kurun waktu
lima bulan (November 1999 s/d Maret 2000) tercatat 13 pelaku kejahatan tewas
dihakimi massa. Sembilan diantaranya tewas dengan cara dibakar dan salah
satunya adalah pelaku pencurian satu ekor ayam (Kompas, 16 Juni 2000).
Mencermati perilaku masyarakat dalam
menyikapi berbagai tindakpidana kejahatan tersebut, pertanyaan yang muncul
adalah mengapa masyarakat berperilaku demikian ? Tidak mampukah peraturan hukum
sebagai sarana kontrol sosial mencegah tindakan main hakim sendiri ? Makalah
ini akan menguak fenomena perilaku main hakim sendiri dari aspek sosiologis.
1.
Hukum dan masyarakat
Untuk mengatur ketertiban dan kepatuhan
terhadap norma kehidupan bermasyarakat diperlukan suatu norma hukum. Hoeber (dalam Schur, 1968) menyebutkan empat fungsi dasar hukum
sebagai sarana kontrol sosial dalam kehidupan bermasyarakat, yaitu :
1.
Untuk
menetapkan hubungan-hubungan antar anggota masyarakat, dengan menunjukan jenis-jenis
perilaku apa saja yang diperbolehkan dan yang dilarang;
2.
Menentukan
pembagian kekuasaan dan merinci siapa saja yang mewakili kewenangan untuk
melakukan pemaksaan, serta siapa saja yang harus mentaatinya. Sekalipun memilihkan sanksi-sanksi
yang tepat dan efektif;
3.
Menyelesaikan
sikap sengketa; dan
4.
Memelihara
kemampuan masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan kondisi kehidupan yang
berubah, dengan cara merumuskan kembali hubungan-hubungan antar anggota
masyarakat. Apabila fungsi-funsgi
ini dijalankan dengan benar dan kosekuen, dapat diharapkan perilaku manusia dan
tata kehidupam masyarakat akan sesuai dengan kaidah, norma, nilai dan aturan
yang berlaku secara universal.
Namun demikianuntuk menjalankan funsgi
hukun tersebut menurutParsons (1971) terdapat beberapa
masalah penting yang harus diselesaikan terlebih dahulu, yaitu :
1.
Masalah
legitimasi, yang berkaitan daengan landasan bagi pentaatan kepada peraturan;
2.
Masalah
interpretasi, yang menyangkut masalah penetapan hak dan kewajiban subjek
melalui proses penerapan peraturan;
3.
Masalah
sanksi, berkaitan dengan penegasan sanksi-sanksi yang akan timbul apabila
terdapat pentaatan atau pelanggaran peraturan, serta menegaskan siapa yang
berhak menerapkan sanksi tersebut;
4.
Masalah
yirisdiksi, yaitu berkaitan dengan penetapan garis kewenangan tentang siapa
yang akan berhak menegakan norma-norma hukum dan apa saja yang akan diatur oleh
norma hukum tersebut (perbuatan, orang, golongan dan peranan).
Keempat masalah ini menjadi amat penting,
karena produk hukum yang berupa peraturan hukum harus memenuhi dan menjamin
sara keadilan masyarakat. Oleh karenanya, melihat fungsi hukum yang demikian,
antara hukum dan kehidupan sosial masyarakat tidaklah dapat dipisahklan.
Peraturan hukum dapat digunakan sebagai sarana kontrol sosial dalam hubungan
antara manusia maupun dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Hubungan yang erat antara hukum dan
masyarakat ini oleh Durkheim (1964) ditunjukan oleh perbedaan bentuk
dan cara pelaksanaan hukum dalam suatu struktur sosial masyarakat yang berbeda.
Dalam teorinya tentang solidaritas sosial, Durkheimmembadakan
masyarakat dalam dua jenis yaitu solidaritas mekanik dan solidaritas organik.
Solidaritas mekanik ditandai oleh pembagian kerja yang rendah, kesadaran
kolektif kuat, idividualisme rendah, hukum yang sifatnya represif sangat
dominan, konsendus terhadap pola-pola normatif sangat penting, keterlibatan
komunitas dalam menghukum orang yang menyimpang sangat besar, dan bersifat
primitif atau pedesaan. Dengan ciri yang demikian, maka hukum ini
mendefinisikan setiap perilaku kejahatan sebagai ancaman terhadap solidaritas.
Oleh karenanya pemberian hukum di sini dilakukan tanpa harus mencerminkan
pertimbangan rasional yang mendalam mengenai jumlah kerugian secara objektif
yang menimpa masyarakat dan juga bukan merupakan pertimbangan yang diberikan
utuk menyesuaikan hukuman dengan kejahatannya. Hukuman tersebut cenderung
mencerminkan dan menyatakan kemarahan kolektif. Sedang solidaritas organik
ditandai oleh perbagian kerja yang tinggi, kesadaran kolaktif rendah, hukum
yang sifatnya restitutif lebih dominan, individualis tinggi, lebih mementingkan
konsensus pada nilai-nilai abstrak dan umum, badan-badan kontrol sosial yang
menghukum orang yang menyimpanh, dan bersifat industrial-perkotaan. Penerapan
hukuman dalam solidaritas mekanik lebih bertujuan untuk memulihkan perilaku
masyarakat agar sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.
Kemajuan pebangunan yang dicapai oleh
masyatrakat Indonesia saat ini secara umum dapat dikategorikan pada struktur
masyarakat bentuk solidaritas organik. Dengan kemajuan ini tentunya norma hukum
yang dianut lebih bersifat restritutif. Namun melihat perilaku nain hakim
sendiri yang dilakukan oleh masyarakat, tindakan tersebut dapat dikategorikan
sebagai penerapan hukum yang berlaku pada masyarakat yang memiliki
karakteristik solidaritas mekanik. Ketidakselarasan antara kemajuan zaman
dengan praktik pelaksanaan hukum ini selanjutnya dapat dikategorikan sebagai
penyimpangan. Penyimpangan atau ketidaksesuaian yang terjadi dalam masyarakat
ini, dalam teori sosiologi disebut sebagai anomie (Durkheim, 1964). Yaitu suatu keadaan
dimana niali-nilai dan norma-norna semakin tidak jelas lagi dan kehilangan
relevansinya. Tindakan main hakim sendiri, dengan demikian dapat dikategorikan
sebagai anomie, atau dalam kasus main hakim sendiri
ini terjadi ketidaksesuaian dalam penerapan fungsi hukum dengan tujuan yang
diinginkan oleh masyatakat. Pelasanaan fungsi hukum oleh lembaga hukum dipadang
oleh masyatakat belum memenuhi rasa keadilan masyarakat, sehingga masyarakat
menjalankan hukumnya sendiri. Berlarutnya penyelesaian berbagai kasus
pelanggaran hukum yang tanpa ujung telah menghilangkan kepercayaan masyarakat
terhadap institusi dan perangkat hukum.
Belum selesai penanganan hukum terhadap
kasus 27 Juli, kasus Bank Bali dan kasus mantan presiden Soeharto, sebagai contoh, telah
memberikan inspiradi kepada masyarakat untuk tidak lagi mempercayai hukum, di
samping menumbuhkan kemarahan dan kekecewaan masyarakat terhadap lembaga hukum
sebagai lembaga kontrol sosial. Oleh karenanya Smelser (1963) melihat gejala kekerasan
massa ini sebagai perwujudan dari ledakan kemarahan dan akumulasi kekecewaan
masyarakat. Sebagai akibatnya, ketika pengendalian atau kontrol sosial oleh
pemerintah melalui peraturan atau pranata hukum dianggap tidak berfungsi, maka
pengendalian sosial dalam bentuk lain akan muncul (Black, 1976). Tindakan individu atau massa
untuk main hakim sendiri terhadap pelaku kejahatan pada hakikatnya merupakan
salah satu bentuk pengendalian sosial oleh masyarakat.
Keberanian masyarakat untuk mengambil alih
proses pengendalian sosial dalam bentuk main hakim sendiri ini, mau tidak mau
dapat dinyatakan sebagai buah dari gerakan reformasi. Gerakan reformasi telah
mewariskan kepada masyarakat, baik yang positif maupun negatif,- kebebasan,
keberanian, keterbukaan informasi, demokrasi, dan sebagainya, yang kemudian
menumbuhkan “kekuasaan dalam masyarakat. Rasa memiliki kekuasaan inilah yang
kemudian menjadi pendorong munculnya tindakan main hakim sendiri oleh
masyarakat. Di sini kekuasaan dipandang sebagai sarana untuk melegitimasikan
setiap tindakan yang dilakukan oleh masyarakat, termasuk melakukan tindakan
hukum. Di sini berlaku suatu
asumsi, bahwa penguasalah pemilik hukum.
1.
Hukum dan kekuasaan
Keterkaitan hukum dan kekuasaan ini dapat
dibuktikan melalui sejarah pemerintahan orde baru. Kekuasaan yang sangat besar
yang dimiliki oleh pemerintah orde baru, mendorong pelaksanaan sistem hukum
sesuai dengan selera dan kebutuhan penguasa. Di sini mengandung artibahwa para
pemilik kekuasan pada umumnya berusaha mempertahankan “status quo” melalui berbagai tindakan yang
tersembunyi di balik instrumen dam peraturan hukum. Tindakan ini oleh Galtum (1996) disebut sebagai kekuasan
“punisif”, yang memiliki sumber legitimasinya pada kemampuan untuk
memberikan sanksi “kejahatan” terhadap mereka yang berada di bawah
kekuasaannya, guna menciptakan “rasa takut”. Kekuasaan ”punitif” ini memiliki kecenderungan
mewujudkan tujuannya melalui berbagai bentuk kekerasan fisik dan psikologis
melalui penyiksaan, ancaman, tekanan dan sejenisnya.
Pemerintahan orde baru dengan kekuasaanya
itu telah memperaktikan apa yang dilansir oleh Galtum tersebut. Pemberian stigma
politik kepada para demonstran atau kepada kelompok yang berwawasan kritis,
penggusuran tanah atas nama pembangunan, merupakan contoh jelas dari upaya
untuk mempertahankan kekuasaan melalui instrumen hukum. Oleh karenanya menjadi
benar apabila Max Weber (1922) menyatakan bahwa
kekuasaan adalah kemampuan untuk, dalam suatu hubungan sosial melaksanakan
kemauan sendiri sekalipun mengalami perlawanan, dan apapun dasar kemampuan ini.
Mengapa penguasa (pemerintah) mampu
menguasai rakyat yang sebenarnya memiliki kekuasaan fisik yangjauh lebih besar?
MenurutHume (dalam Aubert, 1973) ini
disebabkan oleh kemampuan dan keberhasilan penguasa untuk menguasai opini.
Yaitu dengan melakukan tekanan-tekanan, kekerasan dan berbagai bentuk
penciptaan rasa takut lainnya, secara terus menerus sehingga memunculkan
kepatuhan. Kepatuhan ini timbuk secara terus menerus untuk selalu tunduk dan
pasrah, yang dilandasi oleh perasaan superioritas sang penguasa ataupun
perasaan takut. Oleh karena hanya di atas opini sajalah kekuasaan dapat
ditegakkan, maka penggalangan dan pembentukan opini terus menerus di lalukan
guna mempertahan kekuasaan.
Seiring dengan jatuhnya kekuasaan orde
baru, masyarakat kemudian merasa menggunakan kekuasaan yang dimilikinya,
masyarakat kemudian mengadopsi dan meniru pola atau model penggunaan kekuasaan
yang dilakukan oleh pemerintah orde baru. Masyarakat telah belajar banyak dari
kemampuan pemerintah orde baru dalam menggunakan kekuasaannya, yang selanjutnya
dipraktikan dalam bentuk pengadilan jalanan. Tindakan main hakim sendiri ini
merupakan upaya masyarakat untuk menciptakan opini kepada pemerintah maupun
kepada masyarakat lain secara lebih luas, guna menunjukkan kekuasaanya,
meskipun tindakan tersebut disadari telah melanggar hukum.
1.
Alternatif pencegahan
Perilaku menyimpang dan anomie dalam bentuk main hakim sendiri,
sebagai suatu penyakit masyarakat, tentunya harus segera diobati. Untuk
menemukan obat yang tepat pertama kali perlu dikenali akar permasalahan
munculnya tindak kekerasan atau main hakim sendiri tersebut. Apabila akar
masalahnya adalah ketidakpercayaan terhadap pranata hukum, maka fungsi hukum
seperti yang dikemukakan oleh Hoeber di muka perlu dilaksanakan secara
konsekuen. Upaya ini pada akhirnya akan menumbuhkan kewibawaan dan kepastian
hukum yang memenuhi rasa keadilan masyarakat. Sedangkan apabila tindak
kekerasan itu berakar pada ketidakadilan dan ketertidakpastian masyarakat oleh
struktur kekuasaan (penguasa), maka obat yang tepat untuk itu adalah
“pencairan” struktur kekuasaan yang menjadi sumbernya. Di sinilah kemudian
dituntut demokratisasi dalam kehidupan sosial masyarakat. Untuk dapat
melaksanakan ini semua, maka berbagai masalah yang dikemukakan oleh Parsons di muka perlu diselesaikan
terlebih dahulu.
Berbagai masalah tersebut dapat diatasi
dengan berbagai tindakan antara lain adalah :
1.
Hukum
danperaturan perundang-undangan harus dirumuskan dengan baik dan dilakukan oleh
orang-orang yang memiliki kepribadian, jujur, tidak memihak, serta memiliki
kemampuan;
2.
Peraturan
perundang-undangan sebaiknya bersifat melarang, bukan bersifat mengahruskan;
3.
Sanksi
yang diancamkan di dalam perundang-undangan haruslah sebanding dengan sifat
perundang-undangan yang dilanggar;
4.
Lembaga
hukum harus dibebaskan dari berbagai kekuasaan di luar kekuasaan yudikatif,
utamanya kekuasaan eksekutif; dan
5.
Para
pelaksana hukum harus menafsirkan peraturan perundang-undangan sesuai dengan
tafsir yang dilakukan oleh aparat pelaksana hukum. Melalui tindakan-tindakan
ini dan menentukan akar permasalahan timbulnya tindakan main hakim sendiri,
diharapkan tindak kekerasan oleh massa dapat dihentikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar